Dalam Manajemen Pendidikan, Manajemen Sekolah, Organizational Learning, Pendidikan Jepang, SD di Jepang, SMA di Jepang, SMK Jepang, SMP Jepang
di April 14, 2013 pada 1:15 pm
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan menghadiri pertemuan MGMP IPA SMP se-Kab. Lombok Barat, dan pada kesempatan itu, saya diminta men-share informasi tentang pendidikan sains SMP di Jepang. Dalam kesempatan tersebut, salah satu cerita yang saya sampaikan adalah tentang profesionalisme guru di Jepang dalam bekerja.
Ada satu slide yang membuat para guru tertawa, yaitu bahwa di Jepang, guru harus datang lebih awal daripada siswanya, dan pulang setelah semua siswa pulang. Lalu, kepala sekolah harus datang paling awal. Beberapa guru sambil tertawa mengatakan, benar…benar…seharusnya begitu, Bu !
Kepala sekolah di Jepang adalah orang pertama yang harus hadir di sekolah, lalu orang kedua yang harus datang atau kadang-kadang mendahului kepala sekolah adalah wakasek. Kalau di Indonesia ada 3 wakasek, maka di Jepang biasanya hanya ada satu wakasek. Di Indonesia ada satpam yang menjaga pintu sekolah, sementara di Jepang tidak ada satpam, dan yang membawa kunci sekolah adalah wakasek atau kepsek. Jadi, otomatis merekalah yang harus datang paling awal.
Mengapa, sekolah Jepang tidak menyewa satpam atau Pak Bon untuk menjaga sekolah? Semuanya tidak perlu, karena tidak ada maling sekolah. Tetapi bukan berarti semua sekolah tidak ada security-nya. Ada juga beberapa sekolah, terutama sekolah swasta yang dilengkapi dengan security, karena ada beberapa kasus penculikan anak pernah terjadi.
Lalu, apa keuntungan datang paling awal di sekolah bagi seorang kepala sekolah? Banyak sekali. Setidaknya dia dapat mengecek kondisi sekolahnya sudah siap dan aman untuk proses belajar siswa. Yang dilakukan oleh kepala sekolah ketika sampai di sekolahnya bukan mengecek tumpukan surat di mejanya, atau menandatanganinya, tetapi berkeliling dari kelas ke kelas, ruang ke ruang, hingga terperiksa semua sudut sekolah, hingga tiba saatnya berdiri di pintu gerbang, mengucapkan, “ohayou gozaimasu” (selamat pagi) kepada satu per satu guru dan anak-anak yang datang.
Lalu, siapa yang harus pulang paling akhir? Lagi-lagi kepala sekolah dan wakaseknya, sebab mereka membawa kunci
Sewaktu menjadi kepala sekolah di Sekolah Bhinneka, sekolah untuk anak-anak Indonesia di Nagoya, yang kami selenggarakan bersama para mahasiswa di Gedung ECIS kampus Nagoya University, saya pun harus menjadi orang yang paling belakang pulang, sekalipun kadang-kadang bukan menjadi orang yang pertama datang, terutama jika kebetulan saya harus masuk kerja hari Sabtu, maka biasanya saya harus berlari dari tempat kerja sambilan ke stasiun supaya sempat mengejar kereta tercepat yang sampai ke kampus. Mengapa harus pulang paling belakang? Sebenarnya bisa saja saya pulang dan menitipkan tugas dan tanggung jawab sebagai kepala sekolah kepada teman-teman guru lainnya. Tetapi, barangkali saya sama dengan para kepala sekolah, kami tidak dengan mudah mempercayai orang lain dan agak merasa malu membebani orang lain.
Tanggung jawab saya sebagai kepala sekolah di sekolah kecil tersebut adalah jika sudah selesai pembelajaran, maka saya harus memastikan semua kursi di tiga kelas yang kami pakai, telah tersusun rapi kembali, tidak ada coretan sedikitpun di papan tulis, tidak ada remah-remah penghapus di meja, sampah di ruangan, tidak ada barang siswa yang tertinggal, lampu dan AC atau heater telah dimatikan sebelum langkah terakhir menutup pintu kelas. Pintu kelas akan terkunci secara otomatis, sehingga jika sudah ditutup, maka kami tidak bisa membukanya dari luar. Selanjutnya yang harus saya lakukan adalah mengepel kamar mandi, mengeringkan wastafel yang basah karena dipakai berwudhu, membersihkan tissue yang berceceran di lantai toilet. Dan karena ruang kelas ada di lantai dua, dan para orang tua berkumpul di lantai satu, maka saya perlu memeriksa kebersihan toilet di dua lantai tersebut. Kalau suatu kali ada siswa yang berulang tahun, atau ada perayaan lain, dan kami memakai aula di lantai satu, maka tugas saya bertambah yaitu mengepel lantai. Tentu saja saya tidak bekerja sendirian, tetapi beberapa orang tua siswa membantu. Namun, bagaimanapun juga, yang mengerti dan merasa paling bertanggung jawab pada tugas tersebut adalah kepala sekolah.
Pernah sekali, saya tidak bisa masuk, dan ternyata rentetan tugas yang biasa saya kerjakan, tidak ada yang menyelesaikannya. Akibatnya, ada barang tercecer, dan pernah pula kami mendapatkan teguran dari pengelola gedung karena lampu tidak dimatikan, padahal kami bersekolah hanya di hari Sabtu, sehingga lampu terus menyala di hari Minggu, dan baru dimatikan pada hari Senin. Karena keteledoran seperti itu, saya harus siap-siap menghadap kepada pimpinan gedung, dan mendengarkan pesan-pesan yang rasanya sudah saya hafal, karena seringnya saya dengar dan baca di surat perjanjian.
Demikianlah, karena tanggung jawab, kepala sekolah datang paling awal dan pulang paling belakangan. Kepala sekolah sebenarnya hanyalah pelayan para siswa dan orang tua.