Jumat, 19 April 2013

MENGAJAR DALAM KETERBATASAN, KISAH GURU SM3T UNY

Submitted by nurhadi on Mon, 2013-03-11 18:49

Pagi itu, masih melewati deburan ombak yang membawa sang mentari mengalun naik, dari Gunung Inerie, sinarnya memancar. Pukul 07.00 WIT sudah terasa panas. Bergairah kali ini ia akan menemui kelas. Berharap pengalaman pertamanya memberikan tapak yang tak mudah terlupa. Tibalah di depan gapura sekolah. Tulisan SMP Negeri 3 Aimere menempel di pintu utama sekolah. Bangunan SMP itu adalah bangunan yang dibuat atas kerjasama negara Australia dan Indonesia lewat program block grant.

 

Bangunannya rapi dan cukup bersih dengan lantai keramik. Berada di tanjakan desa Keligejo dan lebih tepatnya di dukuh Nunumeo. Kalimat selamat pagi, silahkan duduk, bagaimana kabar kalian, siapa yang tidak hadir hari ini, menjadi kalimat yang harus fasih dikatakan setiap harinya. Dipandangi wajah muridnya satu persatu. Tatapan murid-muridnya tak beralih, ada yang senyum, ada pula yang terlalu fokus melihat, dan ada yang berbicara lirih. Inilah kesan pertama Tri Wulan Rahayu, guru SM3T Universitas Negeri Yogyakarta yang ditempatkan di SMP Negeri 3 Aimere, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur.

SM-3T atau  Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal yang merupakan bagian dari program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia yang diprakarsai oleh Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam program ini, para sarjana pendidikan direkrut, dipersiapkan, dan diterjunkan di wilayah pengabdian. Selain mengajar, mereka juga melakukan kegiatan kemasyarakatan.

“Di sini harus keras, Ibu. Kalau tidak anak-anak akan seenaknya sendiri. Anak-anak di sini agak susah, kemampuan menangkapnya rendah, otak-otak lambat. Saya beritahu saja, Ibu,” kata Albertus Aedisius Mogo, Kepala Sekolah SMP Negeri 3 Aimere. Ketika gadis desa Karang Nongko, Jarum, Bayat, Klaten tersebut memperkenalkan diri dan menyebut alamat rumahnya, banyak murid yang heran mendengar alamat itu.

“Akhirnya saya menyebut bahwa rumah saya dekat dengan rumah Pak Jokowi,” kata Tri Wulan Rahayu. “Memang hanya beberapa siswa yang mengenal mantan Walikota Solo tersebut, maklum karena hanya beberapa tempat yang telah terjamah listrik, sedang selebihnya banyak yang hanya bercahayakan pelita. Tempat saya mengajar belum ada listrik.”

Kemarau panjang membuat desa ini miskin air, pantas bila guru-guru mengeluh mencium bau tidak sedap ketika mengajar, karena ada beberapa murid yang tidak mandi. Beberapa rumah adat dan rumah permanen beratapkan seng berdiri, makam dengan nisan keramik mematung di samping kanan dan kiri rumah . Kandang-kandang babi dengan atap daun ilalang dan lontar juga turut menghiasi pekarangan rumah Desa Keligejo. Tri Wulan Rahayu tinggal di sini selama setahun bersama dua guru SM3T yang lain.

Alumni Jurusan Pendidikan Biologi ini memancing muridnya di kelas VIII dengan pertanyaan tentang cita-cita mereka. “Ketika saya katakan tentang cita-cita, mimik murid-murid berubah,” ucap Tri Wulan Rahayu. “Memang saya sedikit memaksa mereka untuk menimbulkan ke permukaan tentang impian mereka di masa depan.”

Dan ternyata beberapa murid perempuan ingin menjadi perawat dan murid paling pintar, Fani, bercita-cita menjadi guru, sedang beberapa murid laki-laki selain ingin menjadi tentara juga ada yang ingin menjadi pemain bola seperti idola mereka masing-masing. Ada sebuah cita-cita yang menarik yang ditemui Tri Wulan Rahayu ketika memasuki kelas VII A. Fandrianus Bengu, yang biasa dipanggil teman-temannya dengan nama Fandi itu dengan lugas dan lantang mengatakan cita-citanya ingin menjadi sopir otto.

Otto adalah angkutan umum di Flores yang merupakan truk diberi atap serta kursi yang menyerupai bis, lazim juga disebut bis kayu. Ketika Tri Wulan Rahayu bertanya mengapa, oleh Fandi dijawab ingin keliling Flores. Padahal medan lintasan Flores adalah jalan yang sangat curam, sempit, bertebing, dan banyak jurang serta berkelok-kelok. Memang mereka adalah anak-anak kampung dengan segala keterbatasannya.

Di kala anak-anak yang lain telah mengenal gadget dan segala kemewahan teknologi, anak-anak Aimere ini baru melihat tiang listrik yang baru ditanam di tanah. Walaupun begitu, mereka tak patah arang, pikiran mereka begitu membentang luas dan mendalam. Cita-cita mereka tak kalah besar dan tinggi dengan anak-anak Jawa yang punya segalanya.

“Walaupun hanya belajar dengan pelita, kita tetap belajar kok, Ibu. Seperti Ibu bilang, kita harus tetap belajar, membaca, dan menulis, kan?,” ucap Yano, salah satu murid sepulang sekolah. “Teruslah bersekolah, teruslah belajar, teruslah menulis, agar kalian nanti menggapai sebuah cita yang kalian ucapkan tadi. Aimere akan sangat bangga, mempunyai guru, polwan, polisi, perawat, bidan, atau tentara seperti kalian nanti,” tutup Tri Wulan Rahayu. (Dedy)

Sumber : http://www.uny.ac.id/berita/mengajar-dalam-keterbatasan-kisah-guru-sm3t-uny.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar